Kamis, 09 Juli 2020

TB KELENJAR ITU TIDAK MENULAR

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh Bismillah. Hari ini saya akan buat klarifikasi tentang penyakit saya ya teman-teman. Saya sudah terlanjur janji bila ada waktu longgar saya akan menuliskan kelanjutan ceritanya, bukan apa-apa, hanya agar beberapa teman yang kemarin sempat khawatir bisa tahu bagaimana keadaan sebenarnya. Juga semoga dari kisah ini dapat diambil pelajaran agar cukup di saya saja penyakit semacam ini menyerang. Jangan ke yang lain. Sekitar 14 hari yang lalu, 25 Juni 2020, kurang pasti saya mengingat tanggalnya, kira-kira di tanggal-tanggal itu benjolan di leher saya mulai muncul. Kecil, nyaris tak terasa jika tak diraba-raba. Semakin hari saya merasakan tak nyaman dengan kehadiran benjolan itu. Mengganjal dan terkadang membuat leher terasa capek. Ah, saya kecapek’an, pikir saya. Hari terus berlalu, benjolan kian hari kian membesar. Apa ini? Kenapa bisa sebesar ini? Mungkin kelenjar di leher saya sedang bermasalah karena pusing di kepala. Kebetulan ini adalah pekan-pekan berat bagi saya dimana saya harus menerima amanah baru di jenjang yang baru tempat saya mengajar. Sekilas cerita, 7 tahun sudah saya mengajar di kelas 3 SD. Ibaratnya sudah sangat paham bagaimana karakter anak-anak usia kelas 3 SD. Di saat sayang-sayangnya saya dengan mereka, anak-anak usia 9-10 tahun itu, saya harus dipindahtugaskan ke jenjang atas, kelas 4. Tempat anak-anak melewati masa transisinya dari masa kanak-kanak ke masa pra baligh. Saya shock, menangis, dan galau berhari-hari. Mencoba ikhlas dan kuat mengemban semua. Memang benar kata ustazah Alfie Niamah Febriana, kita tidak boleh terus-terusan berada pada zona nyaman. Dan bismillah saya terima amanah ini dengan mantab. Anak-anak sebenarnya yang membuat saya makin mantab. Mengingat wajah-wajah mereka rasanya rindu sekali untuk bertatap muka. Mungkin ini cara Allah untuk kembali mempertemukan saya dengan murid-murid hebat kesayangan. Kembali pada cerita sakit saya. Di saat benjolan itu kian membesar, saya mulai mengalami demam hebat. Kamis, 2 Juli 2020 pagi saya demam, benjolan rasanya seperti menggembung kuat bak balon yang ditiup tanpa henti dan hendak meledak. Saya takut sekali ketika itu. Di rumah hanya tinggal kami berdua, saya dan Ikhvy karena abi ada urusan pekerjaan yang tidak mungkin ditinggalkan. Sebelum abi berangkat kerja padahal saya biasa-biasa saja. Sehat seperti orang pada umumnya. Semakin siang saya tak bisa bergerak, kepala yang pusing tak bisa digerakkan sedikit pun. Ikhvy terus rewel karena mungkin dia bosan di kamar terus dengan umminya. Sementara saya tak berdaya, hanya bisa terkapar bak onggokan daging tanpa nyawa. 12.00 usai sholat dhuhur dengan tiduran, kaki dan tangan yang sejak pagi dingin tiba-tiba kram. Saya memang terbiasa seperti itu, jika sakit, lapar, nangis, dan kecewa bercampur jadi satu maka secara tiba-tiba aliran darah tidak akan lancar dan menyebabkan kram. Dan benar, semakin lama kram itu semakin menjalar ke seluruh tubuh. Sampai sekitar pukul 14.00 kram itu tiba di lidah saya. Bak mannequin yang hanya bisa berkedip, saya mulai menata nafas yang mulai hilang perlahan. Dan seketika semua gelap. Saya tidak pingsan, hanya pandangan mata tiba-tiba hilang dalam beberapa menit. Setelah keadaan kembali normal, saya berusaha menghubungi abi lagi memastikan abi segera pulang. 15.00 Ikhvy kembali rewel pasalnya ia sakit perut ingin buang air besar. Ya Allah, ini saat saat terberat. Di satu sisi Ikhvy sudah kesakitan ingin diantar buang air besar, sementara saya masih tak bisa bergerak karena kram yang masih bercokol di seluruh badan. Ikhvy berlari kesana-kemari menahan hajatnya, dan saya hanya bisa menangisi keadaan. Maafkan Ummi, Nak. Ummi jahat. Singkat cerita, setelah abi datang 30 menit kemudian, saya langsung dibawa ke poliklinik terdekat. Di sana benjolan saya diperiksa, kata dokternya isi benjolan itu adalah nanah. Saya diberi resep yang katanya jika 3 hari minum obat belum kempes, maka saya harus segera ke dokter bedah saraf. Allohu Akbar, penyakit apa ini sebenarnya? Tiga hari saya lalui dengan aktifitas seperti biasa. Sehari masih demam lagi tapi hanya sebentar, sementara benjolan masih saja setia bercokol dengan ukuran yang nyaris tak berubah. Bahkan setiap malam selalu menegang, nyeri, dan mengeluarkan keringat dingin. Sebelum hari ke-4, banyak yang menawarkan nama-nama dokter dari dokter umum, dokter spesialis saraf, hingga dokter bedah saraf. Semuanya saya hubungi. Dari banyak informasi itu diputuskan saya harus ke dokter bedah. 6 Juli 2020, pukul 08.00 saya menemui salah satu wali murid yang juga dokter, dr Dessika namanya. Beliau yang memberi saya rujukan ke dokter Dyah di RS Onkologi (rumah sakit yang khusus menangani kanker) di kota Malang untuk melakukan penanganan Patologi Anatomi sebelum menemui dokter bedahnya. Malam sebelum itu saya sempat baca-baca apa itu Patologi Anatomi. Jadi, Patologi anatomi dianggap sebagai salah satu cabang diagnostik kedokteran bersama dengan radiologi dan spesialisasi patologi lainnya (misalnya, mikrobiologi dan patologi kimia). Tes patologi anatomi ini dilakukan untuk melihat penyakit pada jaringan manusia di mana untuk pemeriksaannya dilakukan pembedahan jaringan tubuh dari pasien. (www.halodoc.com). Nah, dari sini awal saya parno. Membaca kata pembedahan, pikiran saya sudah kemana-mana, dan muncullah status saya yang pertama tentang operasi itu. Saya takut tak keruan. Membayangkan jarum suntik, pisau bedah, darah, ah cukup. Tidak berhenti di situ, saya lanjut berselancar ke artikel-artikel berikutnya tentang semua yang berhubungan dengan patologi anatomi dan operasi. Puncaknya saya sampai melihat gambar pembedahan langsung proses patologi anatomi. Fiks, malam itu saya tidak tidur. Beberapa teman yang membaca status saya mulai berbondong-bondong mengirim pesan. Ada yang melalui whatsapp, message facebook, Instagram, dan di kolom komentar facebook. Banyak yang memberi semangat, doa, dan tidak sedikit yang bertanya. Love you all, guys. Semoga doa yang baik kembali kepada yang mendoakan. Aamiin… Next, pagi sebelum berangkat, saya menghubungi kembali dr Dessika untuk memastikan. Saya tanyakan apakah pagi ini saya akan dioperasi? Beliau menjawab tidak, saya hanya akan diberi tindakan dimasukkan jarum untuk diperiksa benjolannya. Alhamdulillah, sedikit lega. Pertanyaan lanjutan saya, apakah dibius? Tidak, jawab beliau kemudian yang membuat saya semakin ketakutan. Ya Allah, benjolan ini jika tersenggol sedikit saja sudah aduhai rasanya, bagaimana jika harus dimasukkan jarum? Tanpa dibius pula. Kalau kata adikku “dicubles”. Allohu akbar… Mungkin dia pikir benjolan ini seperti balon, yang tinggal dicubles lalu kempes. 07.30 saya sudah keluar rumah diantar mbak saya, mbak Iva yang sampai dibela-belain datang semalam dari Kediri hanya untuk mengantar adik tercintanya ini. Abi kemana? Kebetulan hari ini abi harus jaga ujian UTBK, atau ujian SNMPTN calon mahasiswa baru. Bismillah pagi itu kami menerobos jalanan kota Malang yang tidak lagi lengang meski saat ini berada di puncak masa pandemik covid-19. Sampai di rumah dr Dessika benjolan saya diperiksa dan langsung diberi surat rujukan ke RS Onkologi Sentani di Sawojajar. Tak berlama-lama kami pun melanjutkan perjalanan ke RS tersebut. Di RS saya langsung disambut dan didata macam-macam oleh petugas kesehatan di sana. Setelah didata saya diminta menunggu. Di saat-saat menunggu ini yang juga saya rasa berat. Mungkin sedikit lebai karena saya masih membayangkan yang tidak-tidak dengan kata dimasukkan jarum alias dicubles tanpa bius itu. Sekilas cerita, biasanya jika saya ketakutan atau sedang sangat sedih, saya akan baca al quran dari quran pemberian almarhum bapak. Bukan apa-apa, ketika baca dari al quran pemberian bapak, rasanya bapak seperti ikut hadir menemani saya. Memberi semangat tersendiri untuk saya agar kuat menghadapi permasalahan saya. Sayangnya al quran itu ada di sekolah. Alhasil selama menunggu saya harus puas dengan membaca quran cukup dari aplikasi di ponsel. Sekitar satu jam menunggu, akhirnya saya dipanggil perawat untuk diantar ke lantai 3, tempat tindakan patologi anatomi dilakukan. Di sana saya diminta duduk sebentar karena tim dokter sedang mempersiapkan segala yang perlu dipersiapkan. Ya Allah, ingin lari rasanya dari tempat ini. Beberapa menit kemudian saya diminta masuk ke ruangan yang di meja dokternya ada sebuah mikroskop besar duduk tenang di pojokannya. Saya langsung diminta tiduran di atas ranjang. Mbak Iva saya gelandang ikut masuk ke dalam untuk menemani. Drama pun dimulai. Dokter mulai memakai sarung tangan plastik putihnya diikuti seorang perawat yang tengah lengkap dengan masker di wajahnya. Saya lihat tangannya tengah siap membawa jarum yang katanya halus itu. Namun bagi saya jarum itu tidak ada halus-halusnya karena bentuknya tetap menegang lurus dan kencang. Saya pun bangkit dari ranjang, berusaha membuat negosiasi dengan ibu dokter yang berparas ayu itu, dokter Dyah namanya. Saya: “Dok, yakin ini tidak dibius?” Dokter: “Mbak, suntik bius itu lebih sakit dari ini. Tenang, rasanya seperti digigit semut.” Saya: “Iya kah? Tapi jangan lama-lama ya, Dok?” Dokter: “Endak, mbak hitung sampe 5 detik saja deh, sudah selesai insyaAllah.” Saya: “Bener ya, Dok?” Dokter: “Iya, oke, ditahan sebentar ya, ini agak sakit dikit.” (Alamak, kok dokternya bilang gitu? Katanya kayak digigit semut? Semutnya sebesar apa?) Dalam hati saya. Saya mulai mengelak lagi, saya pegangi benjolan saya agar tidak disentuh bu dokter. Mbak Iva: “Sudah Tin, jangan seperti anak kecil begitu. Cepat dimulai cepat selesai.” Dokter: “Iya mbak, ustazah lho ini, masa kalah sama muridnya.” Mbak Iva: “Lha yo.” (Ya Allah, ustazah juga manusia, Dok. Dosakah jika ustazah juga takut dengan jarum? Apalagi ini pengalaman pertama, tidak dibius pula) Dokter: “Mbak, tolong bantu pegangi kepalanya ya biar tidak bergerak-gerak, soalnya kalau bergerak sedikit saja nanti yang di dalam benjolan ini tidak mau keluar.” Kata dr Dyah pada mbak Iva. Mbak Iva: “Siap, Dok.” Jawab mbak Iva mantab. Sementara saya masih bingung harus mencari alasan apa lagi untuk menunda proses menakutkan ini. Saya: “Iya iya iya, bentar saya tenangin diri dulu.” Dokter: “Sambil duduk wes ndak papa mbak, senyaman mbaknya aja.” Saya pun mencoba duduk sambil kepala saya dipegangi mbak Iva. Wkwkwkwkwkw Dokter: “Siap ya mbak, tarik nafas dalam-dalam, bismillah.” Bu dokter menancapkan jarumnya tepat di tengah-tengah benjolan saya. Saya: “Aaaaaaallohu akbaaaaaaarrrr.” Teriak saya otomatis. Jarum yang katanya halus itu menusuk tajam benjolan di leher saya. Kalian tahu film vampire atau adegan film suzana yang lehernya ditusuk paku? Yah, kurang lebih bayangan saya semacam itu. Saya berteriak merapal dzikir yang saya ingat. Lebih dari 5 detik yang dijanjikan, suster yang bertugas memegangi jarum itu tiba-tiba menggoncang-goncang benjolan yang tertancap jarum itu. Saya: “Mbak, ini aku diapain? Jangan digitukan, sakit mbaaaaak.” Suster: “Ndak diapa-apain mbak, ini sudah selesai kok, jarumnya sudah dilepas.” Lalu saya lihat mbak Iva yang sedari tadi kuat sekali memegangi kepala saya. Dia menutup matanya rapat-rapat setelah sebelumnya sempat melirik ke tangan suster itu. Ada apa pikir saya? Mbak suster yang dari tadi menekan dan memutar-mutar benjolan saya, tidak juga menghentikan aktivitasya, tak kuat saya pun menangis karena saking sakitnya. Mbak Iva bilang, “Sudah, sekarang nangis aja, keluarkan semua.” Suster: “Sudah mbak.” Dia pun melepaskan tangannya dari leher saya dan menempelkan perban ke bekas tusukan itu. Hah, jadi dari tadi sebenarnya belum dilepas itu jarum? Sejak mbak Iva belum merem tadi? Allohu akbar, berarti yang ditekan dan diputar-putar mbak suster tadi adalah jarum di dalam benjolan saya? Pantas saja sakit sekali yang selanjutnya baru saya tahu bahwa setelah ditusukkan jarum, dilanjutkan dengan dimasukkan semacam selang seperti pentil sepeda ke dalam benjolan saya. Ya Allah, segitunya mereka menyembunyikan ini pada saya. Setelah sampel itu dibawa dr Dyah saya diminta menenangkan diri di luar ruangan, katanya biar ndak teringat lagi jika melihat ranjang di sana. Saya pun meringsek keluar sambil terus sesenggukan. Duh Gusti, sakitnya masih terasa, ngilunya masih sangat nyata. Dan rasanya air mata ini tidak mau berhenti seketika. Tiga empat tissue tak jua bisa meredakan. Ya sudah, teruskan saja biar hatimu puas. Begitu kira-kira arti tatapan mbak Iva. Setelah saya terlihat tenang, mbak suster tadi menemui saya lagi dan bilang kalau hasil tesnya masih akan keluar sekitar satu jam lagi. Ya sudah, kami pun memutuskan turun untuk mencari makan siang dulu sambil menunggu hasil tes. Memang sebenarnya saya sudah sangat lemas dan loyo, jadi saya butuh asupan untuk menambah tenaga. Diajaklah saya pergi makan soto di warung dekat rumah sakit. Lumayan kuat dan sudah bisa tersenyum lagi, tepat 1 jam kami pun kembali ke RS untuk mengambil hasil tes. Sampai di RS ternyata kami masih harus menunggu, kira-kira dapat 2 lembar surah At-Taubah, saya dipanggil untuk masuk ke ruang dr Budi, beliau adalah dokter spesialis bedahnya. Di dalam ruangan beliau ternyata berkas dan hasil tes saya sudah ada di atas meja dengan keadaan terbuka. “Mari silahkan duduk.” Ucap dokter sepuh nan berwibawa itu memulai pembicaraan. Ditanya-tanya sebentar, kemudian saya diminta berbaring lagi untuk dicek langsung oleh beliau. Benjolan saya diukur dan diperiksa. Hanya sebentar kemudian duduk lagi. Di sini saya dijelaskan panjang lebar tentang apa sebenarnya penyakit saya ini. Dokter: “Benjolan di leher itu ada 2 kemungkinan, jika bukan karena infeksi berarti kanker.” Saya mendengarkan dengan seksama. Dokter: “Nah, berdasarkan hasil tes ini, tidak ditemukan sel kanker. Bersih.” Alhamdulillah, dalam hati saya. Dokter: “Hanya ditemukan ini dan ini.” Sambil beliau centang-centang istilah-istilah kedokteran yang saya tidak paham itu apa. Saya baca dari arah saya juga sulit sekali mengejanya. Mungkin itu nama bakterinya atau semacamnya saya tak paham. Dokter: “Dua ini adalah kemungkinan infeksi, namun ternyata yang lebih banyak ditemukan adalah bakteri ini, ini, dan ini.” (lagi lagi beliau mencentang istilah aneh yang saya pikir itu nama bakterinya) Saya: “Bakteri ya, Dok?” Tanya saya memperjelas. Dokter: “Iya, ini bakteri, bukan virus. Jadi Anda terkena TB Kelenjar.” Saya: “TBC?” Dokter: “Ya.” Allohu akbar, rasanya campur-campur, antara senang karena bukan kanker, tapi juga sedih karena itu TBC. Saya: “Menular ya, Dok?” Dokter: “O tidak. Jadi TBC itu macamnya ada banyak. Ada TB paru, TB kelenjar di leher, TB kelenjar di ketiak, TB kelenjar di selakangan, dsb. Yang menular itu hanya TB paru, yang lain tidak.” Alhamdulillah, Allah masih begitu sayang pada saya dan keluarga saya. Jadi teman-teman, yang kemarin takut dan menganggap penyakit saya ini menular, stop ya. TB kelenjar itu tidak menular. Dokter spesialis bedah saya sendiri yang bilang. Untuk lebih mantabnya saya cuplikkan kata alodoktor.com juga ya. “Sebagian besar kasus TB memang terjadi pada paru-paru. Tetapi infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (MTB) ini juga dapat menyerang bagian tubuh lain. Kondisi yang disebut TB extrapulmonary atau TB di luar paru ini dapat mengenai selaput otak, tulang, ginjal, rongga perut, kelenjar getah bening, saluran kencing, atau bagian tubuh lainnya termasuk kulit dan pleura.” Dan ini kata sains.kompas.com “Banyak orang takut jika penyakit ini menular. Apalagi, bakteri penyebab tuberkulosis memang bisa ditularkan melalui udara. Meski begitu, itu hanya terjadi pada TB paru saja. Sedangkan TB kelenjar getah bening tidak bisa menular lewat udara.” Nah, seperti itu teman-teman. Oya, setelah saya dijelaskan panjang lebar tentang apa itu TB kelenjar. Dokter pun mulai menuliskan resep dan berkata, “Minumnya harus disiplin ya, tidak boleh terputus satu kali pun. Jika terputus maka harus mengulang dari awal lagi. Ini saya beri resep untuk 2 minggu dulu. Jika obatnya habis kembali ke sini untuk kontrol sambil membawa hasil tes darah. Jadi setelah ini silahkan tes darah dulu ke laboratorium di luar dan hasil tesnya tolong dibawa saat kontrol nanti. 2 minggu ini masih masa awal ya, jika belum sembuh maka pengobatan akan dilanjutkan sampai 6 bulan ke depan. Dan kalau pun sudah kempes, tetap dilanjutkan ya obatnya sampai habis.” Subhanallah, 6 bulan? Tanpa boleh putus? Astaghfirulloh, saya ini paling susah minum obat. Apalagi obat kimia. Selain itu saya juga tidak pandai menelan obat mentah-mentah. Jika orang lain cukup minum obat dengan seteguk air, maka tidak dengan saya. Saya baru bisa menelan obat jika itu dengan pisang. Apalagi obat TB ini ukurannya besar-besar, jadi harus dipotong dulu menjadi beberapa bagian. Obat yang semula hanya 4 jenis, maka bisa beranak menjadi 8 biji. Hah, rasanya seperti tak selesai-selesai minum obat. Setelah keluar dari rumah sakit Onkologi itu kami kembali melanjutkan perjalanan ke RS UMM untuk cek lab tes darah lengkap. Di tengah guyuran gerimis kota Malang saya kembali sibuk membalas satu per satu japrian teman-teman yang menanyakan kabar. Mohon maaf ya teman-teman jika akhir-akhir ini saya sangat slow respon. Bahkan mungkin ada yang belum terbalas, saya mohon maaf. Selama perjalanan itu pula abi tak henti-hentinya mengirim pesan dan menelepon. Abi mencoba menjembatani untuk mendaftarkan saya tes lab, jadi ketika sampai RS bisa langsung tes tanpa daftar dulu. Kebetulan abi pegawai UMM, jadi mungkin ada kemudahan tersendiri untk pegawai. Wallohu alam. Benar, sampai di sana saya tinggal menuju ke laboratorium di lantai 2 karena semua administrasi sudah diurus oleh abi via jarak jauh. Terima kasih banyak abi. Ah, sebentar lagi saya akan berurusan dengan jarum (lagi). Cukup lah ya, gak perlu dibahas detail lagi, yang jelas pasti ada drama di dalamnya. Wkwkwkwkwk. Setelah tes darah, sambil menunggu hasilnya yang masih 2 jam lagi, saya kembali diajak cari makan sama mbak Iva dan Mr Dj (kakak iparku alias suaminya mbak Iva). Usai makan benjolan ini mulai terasa nyeri lagi, kami memutuskan untuk menghubungi abi agar abi saja yang mengambil hasil tes darah karena kebetulan hasil tes keluar saat jam kepulangan abi dari jaga UTBK. Abi setuju dan kami pun langsung meluncur menemui abi untuk memberikan kartu periksa untuk syarat pengambilan hasil tes. Sampai di depan GKB 2, tempat kami janjian bertemu abi, kulihat abi begitu pucat. Aku: “Abi kenapa?” Abi: “Nggak papa.” Katanya singkat. Aku: “Jangan bohong.” Kejarku memaksa. Abi: “Jangan, nanti saman khawatir.” Aku: “Lhooooo, kenapaaaaa!” Paksaku lebih kuat. Abi: (Sambil berbisik) “Jangan bilang-bilang ya, aku demam, kayake tipusku kumat.” Aku: “Allohu akbar.” Jawabku kaget. Abi: “Sudah sana pulang. Istirahat. Hujan lho. Aku harus segera kembali ke kelas. Gak boleh lama-lama ditinggal.” Katanya seraya pergi. Setelah itu saya dengan mbak Iva meluncur pulang, sampai di tengah perjalanan kami membicarakan keadaan abi. Tiba-tiba Mr DJ tercetus keinginan untuk kembali menjemput abi. Membayangkan abi harus susah payah sendiri mengambil hasil lab. Belum lagi harus pulang sendiri naik motor di tengah hujan yang begitu awet. Akhirnya fiks kami putar arah, kembali ke kampus menunggu Abi di masjid Fackhruddin UMM. Pukul 17.00 abi menelepon minta dijemput di gedung GKB 4. Saya dengar suaranya dari jauh sepertinya dia memang sudah sangat kepayahan dan lemas. Kami pun segera menjemput abi. Abi masuk mobil, sepeda motor pun ditinggal kehujanan di parkiran. Sudahlah, si beat bisa diambil sewaktu-waktu pikir saya. Kami pun meluncur ke RS UMM. Kami bagi tugas, mbak Iva dan Mr DJ ambil hasil tes darah ke laboratorium, sedangkan saya mengantar abi ke IGD. Sampai di IGD abi diminta langsung ke poli umum karena IGD sedang penuh waktu itu. Di poli umum kami diminta menunggu dokternya. Saya tak tega melihat abi waktu itu. Bajunya basah kena hujan, bibirnya pucat dan kering, tangannya dingin sedingin bunga es di kulkas kami. Tapi dia mengaku meriang dan demam. Ya Allah abi. Setelah sholat maghrib petugas di poli umum minta agar kami kembali ke IGD karena sudah ada ranjangnya. Di sana abi diperiksa dan diberi resep obat untuk daya tahan tubuhnya. Pemeriksaan belum bisa dilakukan dengan seksama karena memang gejalanya masih satu hari, jadi misalkan tes darah pun hasilnya akan percuma, belum terlihat semua. Namun yang dirasakan abi, gejala seperti ini biasanya ciri-ciri tipusnya akan kumat. Malam itu pun kami pulang membawa lelah masing-masing. Dalam perjalanan pulang abi hanya tertidur melungker di pangkuan saya, semantara saya hanya bisa menatap iba pada abi sambil menahan cenut-cenutnya leher saya. Di dalam mobil saya sempat ikut syuro jenjang sebentar via zoom sebelum kami berhenti untuk menebus resep obat saya di apotik Lawang. Kata apoteker di RS Onkologi tadi, obat TB saya bisa dipesan di sana tapi baru ada besok. Karena rumah saya jauh dengan RS maka mbak apotekernya menyarankan untuk beli obatnya di apotik Lawang saja. Sampai di apotik Lawang ternyata stoknya terbatas. Kami pun urung membelinya, kami pindah ke apotik lain, tidak ada. Semuanya nihil. Jadi fiks seharian itu saya tidak minum obat. Mungkin itu yang menyebabkan benjolan saya kembali nyeri sekali. Pikir saya, besok saja semoga abi sudah sehat sehingga bisa membelikan obat ke apotik RS Onkologi. Sampai di rumah saya dan abi langsung menarik selimut, berlomba merintih dengan sakit masing-masing. Melihat itu mbak Iva tak tega, maka ia berinisiatif mengajak Ikhvy pulang ke Kediri malam itu juga. Niatnya agar kami bisa istirahat total dan Ikhvy ada yang mengurus di Kediri. Selain itu memang eyang utinya di Kediri sudah kangen berat dengan Ikhvy yang memang sejak 3 bulan sebelum lebaran belum bisa pulang karena virus korona saat ini. Awalnya Ikhvy tak mau karena abi dan umminya tidak ikut, tapi karena rayuan maut budhenya (mbak Iva) maka Ikhvy pun menurut. Segala macam mainannya ia masukkan ke dalam tas birunya. Ia berpamitan kepada kami sambil bilang, “Abi, kalo abi sudah sembuh, abi langsung jemput aku ya? Ummi’ kan sakitnya lama.” Ya Allah, Nak, sehat-sehat kamu di sana ya sholihaku… Dan bismillah, malam itu Ikhvy pulang ke Kediri bersama budhe dan pak dhenya. Sementara saya dan abi hanya bisa terkapar tak berdaya. 21.15 Kuceritakan semua pada adekku, Hadis karena memang dia yang sejak pagi bertanya, khawatir, dan ikutan ribet. Tiba-tiba dia menawarkan diri untuk mengambilkan obatnya ke RS Onkologi besok pagi dan mengantarkannya ke rumah. Hah? Pikirku, kan jauh? Tapi dia memaksa dan memang saya juga sedang butuh bantuan sekali. Abi masih sangat lemah, motornya ditinggal di kampus, bapak mertua pun sedang sakit. Jadi apa boleh buat, kuterima bantuan Hadis. Pagi sekali dia sudah berangkat mencari obat. Sampai di sana katanya obatnya baru bisa dipesan dan ready siang. Ia pindah ke apotik lain di Pajajaran, Alhamdulillah ketemu. Siang usai kerja dia ke rumah untuk mengantarkan obatnya sambil membawakan 3 bungkus bubur ayam dan british propolis. British propolis ini titipan ibu kepala sekolah tercinta, Bu Hida yang menyarankan juga untuk ikhtiar dengan yang herbal karena beberapa teman sudah ada yang berhasil dengan ikhtiar itu. Alhamdulillah siang itu setelah makan bubur bersama, akhirnya saya bisa minum obat. 13.30, itu adalah waktu untuk saya minum obat. Tidak boleh kurang, tidak boleh lebih. Harus disiplin dan tidak boleh terputus selama 2 minggu, bahkan 6 bulan lamanya. Selanjutnya tinggal memulihkan lemas dan pusing yang terkadang masih suka muncul tiba-tiba. Mohon doa dari panjenengan semua. Semoga kita semua diberi kesehatan dan usia yang berkah oleh Allah SWT. Terima kasih banyak saya haturkan untuk kalian semua yang sudah membantu, menasehati, mendoakan, dan mengkhawatirkan saya. MasyaAllah, begitu indah ukhuwah ini. Berasa saya tidak sendiri lagi. Sekali lagi terima kasih banyak dan mohon maaf bila saya pernah salah pada panjenengan semua. Tidak terasa sudah 14 lembar cerita ini tertuliskan dalam kertas A4. Sekali lagi bukan apa-apa tujuan saya menuliskan cerita ini, hanya ingin berbagi pengalaman dan harapan agar penyakit ini cukup berhenti di sini, tidak ada lagi yang akan mengalami, cukup berhenti di saya. Abi, mbak Iva bebekku, Mr DJ, Ikhvy, Ibukku, Ibuk mertua, Bu Hida, Pak Anam, Ust Nurul, Ust Anin, Bu Rina, Bu Ria, Adekku Hadis, dr Dessika, dr Nadia, dr Astri, dr Dyah, dr Budi, Genk Ciwi2, ust Uswah, Jenjang 4, lingkaran El Farah. Terima kasih banyak. Ana uhibbuka fillah. Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh. Malang, 10 Juli 2020 Intan K. L. Asror

Sabtu, 21 Januari 2012

KAPAS ITU



Kapas itu, bening, putih, bersih, lembut, bersahabat, mengait erat
membentuk formasi rapat, kuat, dan melakat.
Walau terik memudarkan pigmen kulit halusnya
walau hujan, meluluhkan peluhnya
tak jua tunggal pun ia mengeluh, luluh, gumuruh

Bisikan angin mengoyak tubuhnya
lembut, ringan, bersahaja
Kibaranyanya membuka gempita,
semangat dan aura yang membara-bara
merah, panas, membakar
Daya juangnya tak kunjung usai walau pengusa memutus nadinya
Wahai hawa, kibarkan semangat sutramu
Hindarkan tangisan kapas-kapas itu
Torehkan senyum dalam kalbu putih dibalik misteri jilbabmu

26 Oktober 2008
Untuk kaumku

Selasa, 01 Juni 2010

ANALISIS NASKAH DRAMA “DAM” KARYA PUTU WIJAYA

Dalam dongeng, yang nyata dan yang khayal dapat berlalu lintas begitu saja. Begitu juga dalam pertunjukan wayang, dalam kehidupan orang Bali, bahkan dalam kehidupan modern di negeri ini. Melalui cerita, Putu menggali hal lain, sesuatu yang kerap terasa mustahil, untuk menggoyangkan sejumlah “kebenaran” yang terlanjur mapan. Jadinya karya Putu yang mengguncang-guncang berbagai kebiasaan, baik kebiasaan hidup maupun estetika. Karya-karya Putu hadir untuk menimbang ulang, mempermainkan, mempertanyakan, bahkan menggugat wacana, konvensi, adat nilai, moral dan segala sesuatu yang sudah teramat biasa di sekitar kita. Bila malam bertambah malam (1971) misalnya, amat jelas menguji sekaligus mempertanyakan, nilai-nilai kasta dalam kehidupan orang Bali. Lewat cerita Putu tiba-tiba kita tercengang dan kemudian tahu bahwa disekitar kehidupan kita banyak nilai-nilai yang sebenarnya keropos dan karena itu bersifat ilusi.
Tentu tidak seluruh karya Putu Wijaya menampilkan tokoh dan sejumlah peristiwa aneh, lucu, ajaib, hayal atau absurd, dan tak masuk akal. Pada cerita-cerita yang ditulis secara realis, cerita dan struktur cerita, sosok tokoh, peristiwa dan jalinan peristiwa hadir mengalir seperti umumnya cerita. Seperti tampak pada “Dam”, tokoh penjahat yang membunuh orang bersedan dihadirkan sebagai jendela untuk membongkar realitas mapan yang sesungguhnya keropos. Dalam pengadilan, segalanya terbongkar. Mengapa penjahat membunuh orang bersedan tidak lain karena merasa tidak adil atas kehidupan. Dengan “dekonstruksi” khas Putu, logika dibolak-balik sehingga penjahat dengan leluasa menyalahkan orang bersedan itu. Kisah “Dam” ini seolah menempatkan Putu Wijaya, sebagai sarjana hukum, yang membela orang-orang kecil sekaligus mempertanyakan keadaan.
Berbeda dengan karya-karya realis, karya-karya non-realis Putu, baik novel, cerpen, maupun dramanya, kental dengan peristiwa-peristiwa aneh, perilaku tokoh yang tak masuk akal, menjungkirbalikkan kebiasaan-kebiasaan lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana Telegram (1990) juga tampil sebagai kisah yang menghadirkan bersilangsengkarutnya peristiwa nyata dan khayal, lucu dan mengerikan, faktual dan metaforis, logis dan tak masuk akal. Bagaimana mungkin dalam Stasiun tokoh yang copot kepalanya karena diterkam orang gila bisa dipasangkan kembali, seperti memasang topi di kepala, oleh seorang kuli yang menemukan orang itu di tong sampah. Dalam salah satu cerpennya malah ada tokoh yang naik pesawat ke Jakarta, kepalanya tertinggal di Singapura.
Begitu pula dalam novel Lho, tokoh utama berkali-kali melakukan pembunuhan yang tidak ingin diinginkannya. Hasrat membunuh dalam Lho agak mirip dengan hasrat membunuh dalam “Dam”, meski dalam “Dam” menjadi jelas sebab-musabab sosialnya. Putu Wijaya menggambarkan wajah masyarakat Indonesia yang masih bermasalah karena adanya ketimpangan sosial. Drama itu menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia yang berada dalam kondisi ekonomi yang rendah menjadi inti permasalahan ini. Kecemburuan sosial menjadi dominasi konflik dalam drama ini. Gaya penuturan tokoh-tokoh dalam drama “Dam” ini menggunakan bahasa realitas, lancar, ringan, dan mudah dimengerti sehingga drama ini bisa dikatagorikan sebagai drama realis.

Kamis, 20 Mei 2010

Segurat Serat untuk Penguasa

Serat gurat tinta menyembulkan makna
Dalam kata darah menyembur memutarkan roda
Kecil, tegap, namun pasti dalam ungkap
Lahan berpetak tergarap
Lahan putih ternoda
Dalam serat gurat tinta menyembulkan makna

Gegap gempita rupa meja jati yang menua
Saksi mata derap terjang darah yang menganga
Mengalir sumilir menghulu ujung pena

Riyip kecil api merambat menjamah dahi
Menyusup panas dalam impuls yang berpeluh
Tes tes tes...
Torehkan semangat pada serat lahan yang mencoklat, pekat

Derap langkah bola mengaiskan sejuta pinta
Bergelinding kering pada ujung titik penghabisan
Semua itu terjadi hanya karena duka
Yang menukik tajam dalam gejolak manipulasi bangsa.

Minggu, 02 Mei 2010

Apresiasi Penganalogian Parta Krama

Apresiasi Penganalogian Parta Krama
Tepuk tangan untuk cerpen Parta Krama karya pak Umar Kayam. Kalimat ini tidak seharusnya diucapkan bila kita menjamah pikiran membayangkan seakan berada di sebuah ruangan yang di situ duduk berpuluh-puluh, atau mungkin beratus-ratus, atau bahkan beribu-ribu orang yang tengah serius mendengarkan pembacaan sebuah cerpen yang benar-benar cool, bila kata saya sebagai anggota kaum muda-mudi. Mengapa? Karena pembaca, pendengar, pemirsa, atau penikmat sastra tidak perlu mendapatkan stimulus dari pihak lain untuk mengapresiasi sebuah karya sastra. Mereka bisa merasakan sendiri bagaimana kekuatan, imajinasi, dan keindahan sebuah karya sastra itu bersembunyi, jadi sederhananya, tepuk tangan sebagai salah satu bentuk kecil sebuah pengapresiasian karya sastra saya rasa tidak perlu harus diperintah atau dikomando karena tepukan tangan itu akan keluar dengan sendirinya terkena kekuatan magnet keindahan suatu karya sastra itu. Dan magnet itu sudah menarik hati saya sehingga bertepuk tangan dengan sendirinya setelah membaca cerpen Parta Krama karya pak Umar Kayam ini.
Parta Krama, menurut sepengetahuan awam saya itu adalah nama kecil Arjuna. Dan dalam cerpen itu kata tersebut hanya disebutkan sekali pada awal-awal cerita. Setelah membaca keseluruhan isi ceritanya saya jadi menerka-nerka maksud yang terkandung dalam judul yang terlihat sederhana itu. Cerpen itu mengisahkan sebagian kecil gambar kehidupan seorang pejabat senior bank, Drs Herdjuna. Dari kehidupannya yang setiap hari bergelut dengan uang rakyat, bahkan dampaknya pada uang negara tentu sensitif sekali menjadi sorotan dan intipan masyarakat sebagai bentuk kewaspadaan sebagai nasabah. Bahkan sempat mendapatkan tuduhan melakukan kolusi dengan partner kerjanya sendiri. Dari sini saya mencoba meraba-raba bahwa lakon Parta Krama yang menjadi pemenang pertama dalam Festival Wayang Orang Amatir seluruh Indonesia itu adalah terinspirasi dari kisah kehidupan Drs Herdjuna sendiri. Dari kisah kehidupannya yang berjuang mendapatkan hati seorang perempuan yang akhirnya menjadi istrinya dengan usaha dan pengorbanan hingga menyeretnya pada tuduhan kolusi di tempat kerjanya sendiri. Begitu pun dengan kisah Arjuna yang harus berkorban menghadap dewa-dewa mencari kereta kencana yang ditarik kerbau Danu piaraan para dewa, dan iringan gamelan Lokananta dari surga. Penganalogian yang menarik sehingga menelorkan sebuah imajinasi yang eksotik pula. Dari hasil penganalogian dua peristiwa ini saya berpikir bahwa judul cerpen Parta Krama ini sengaja diambil mengingat kisah Arjuna itu sebagai gambaran masa lalu Drs Herdjuna walau pada kenyataan isi cerpen Arjuna justru sebagai pantulan kehidupan nyata Drs Herdjuna. Dari penggambaran masa lalu inilah Drs Herdjuna mengambil lakon Parta Krama yang kita tahu itu adalah nama kecil Arjuna.
Dari dalam kisah yang diangkat sebuah kisah, kita kembali pada kehidupan yang benar-benar nyata, kehidupan tiga dimensi di mana pak Umar Kayam sekarang berada sebagai pengarang karya unik ini. Rumit memang, masih banyak simbol-simbol, makna-makna, dan amanah-amanah yang terkandung dan terselip dalam cerpen Parta Krama ini. Namun masing-masing pembaca memiliki teori sendiri, teorinya bisa merupakan gabungan dari berbagai teori. Dan bila teori pembaca itu tidak kuat maka akan berpengaruh pula pada interpretasinya terhadap karya sastra itu.