Selasa, 01 Juni 2010

ANALISIS NASKAH DRAMA “DAM” KARYA PUTU WIJAYA

Dalam dongeng, yang nyata dan yang khayal dapat berlalu lintas begitu saja. Begitu juga dalam pertunjukan wayang, dalam kehidupan orang Bali, bahkan dalam kehidupan modern di negeri ini. Melalui cerita, Putu menggali hal lain, sesuatu yang kerap terasa mustahil, untuk menggoyangkan sejumlah “kebenaran” yang terlanjur mapan. Jadinya karya Putu yang mengguncang-guncang berbagai kebiasaan, baik kebiasaan hidup maupun estetika. Karya-karya Putu hadir untuk menimbang ulang, mempermainkan, mempertanyakan, bahkan menggugat wacana, konvensi, adat nilai, moral dan segala sesuatu yang sudah teramat biasa di sekitar kita. Bila malam bertambah malam (1971) misalnya, amat jelas menguji sekaligus mempertanyakan, nilai-nilai kasta dalam kehidupan orang Bali. Lewat cerita Putu tiba-tiba kita tercengang dan kemudian tahu bahwa disekitar kehidupan kita banyak nilai-nilai yang sebenarnya keropos dan karena itu bersifat ilusi.
Tentu tidak seluruh karya Putu Wijaya menampilkan tokoh dan sejumlah peristiwa aneh, lucu, ajaib, hayal atau absurd, dan tak masuk akal. Pada cerita-cerita yang ditulis secara realis, cerita dan struktur cerita, sosok tokoh, peristiwa dan jalinan peristiwa hadir mengalir seperti umumnya cerita. Seperti tampak pada “Dam”, tokoh penjahat yang membunuh orang bersedan dihadirkan sebagai jendela untuk membongkar realitas mapan yang sesungguhnya keropos. Dalam pengadilan, segalanya terbongkar. Mengapa penjahat membunuh orang bersedan tidak lain karena merasa tidak adil atas kehidupan. Dengan “dekonstruksi” khas Putu, logika dibolak-balik sehingga penjahat dengan leluasa menyalahkan orang bersedan itu. Kisah “Dam” ini seolah menempatkan Putu Wijaya, sebagai sarjana hukum, yang membela orang-orang kecil sekaligus mempertanyakan keadaan.
Berbeda dengan karya-karya realis, karya-karya non-realis Putu, baik novel, cerpen, maupun dramanya, kental dengan peristiwa-peristiwa aneh, perilaku tokoh yang tak masuk akal, menjungkirbalikkan kebiasaan-kebiasaan lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana Telegram (1990) juga tampil sebagai kisah yang menghadirkan bersilangsengkarutnya peristiwa nyata dan khayal, lucu dan mengerikan, faktual dan metaforis, logis dan tak masuk akal. Bagaimana mungkin dalam Stasiun tokoh yang copot kepalanya karena diterkam orang gila bisa dipasangkan kembali, seperti memasang topi di kepala, oleh seorang kuli yang menemukan orang itu di tong sampah. Dalam salah satu cerpennya malah ada tokoh yang naik pesawat ke Jakarta, kepalanya tertinggal di Singapura.
Begitu pula dalam novel Lho, tokoh utama berkali-kali melakukan pembunuhan yang tidak ingin diinginkannya. Hasrat membunuh dalam Lho agak mirip dengan hasrat membunuh dalam “Dam”, meski dalam “Dam” menjadi jelas sebab-musabab sosialnya. Putu Wijaya menggambarkan wajah masyarakat Indonesia yang masih bermasalah karena adanya ketimpangan sosial. Drama itu menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia yang berada dalam kondisi ekonomi yang rendah menjadi inti permasalahan ini. Kecemburuan sosial menjadi dominasi konflik dalam drama ini. Gaya penuturan tokoh-tokoh dalam drama “Dam” ini menggunakan bahasa realitas, lancar, ringan, dan mudah dimengerti sehingga drama ini bisa dikatagorikan sebagai drama realis.

Kamis, 20 Mei 2010

Segurat Serat untuk Penguasa

Serat gurat tinta menyembulkan makna
Dalam kata darah menyembur memutarkan roda
Kecil, tegap, namun pasti dalam ungkap
Lahan berpetak tergarap
Lahan putih ternoda
Dalam serat gurat tinta menyembulkan makna

Gegap gempita rupa meja jati yang menua
Saksi mata derap terjang darah yang menganga
Mengalir sumilir menghulu ujung pena

Riyip kecil api merambat menjamah dahi
Menyusup panas dalam impuls yang berpeluh
Tes tes tes...
Torehkan semangat pada serat lahan yang mencoklat, pekat

Derap langkah bola mengaiskan sejuta pinta
Bergelinding kering pada ujung titik penghabisan
Semua itu terjadi hanya karena duka
Yang menukik tajam dalam gejolak manipulasi bangsa.

Minggu, 02 Mei 2010

Apresiasi Penganalogian Parta Krama

Apresiasi Penganalogian Parta Krama
Tepuk tangan untuk cerpen Parta Krama karya pak Umar Kayam. Kalimat ini tidak seharusnya diucapkan bila kita menjamah pikiran membayangkan seakan berada di sebuah ruangan yang di situ duduk berpuluh-puluh, atau mungkin beratus-ratus, atau bahkan beribu-ribu orang yang tengah serius mendengarkan pembacaan sebuah cerpen yang benar-benar cool, bila kata saya sebagai anggota kaum muda-mudi. Mengapa? Karena pembaca, pendengar, pemirsa, atau penikmat sastra tidak perlu mendapatkan stimulus dari pihak lain untuk mengapresiasi sebuah karya sastra. Mereka bisa merasakan sendiri bagaimana kekuatan, imajinasi, dan keindahan sebuah karya sastra itu bersembunyi, jadi sederhananya, tepuk tangan sebagai salah satu bentuk kecil sebuah pengapresiasian karya sastra saya rasa tidak perlu harus diperintah atau dikomando karena tepukan tangan itu akan keluar dengan sendirinya terkena kekuatan magnet keindahan suatu karya sastra itu. Dan magnet itu sudah menarik hati saya sehingga bertepuk tangan dengan sendirinya setelah membaca cerpen Parta Krama karya pak Umar Kayam ini.
Parta Krama, menurut sepengetahuan awam saya itu adalah nama kecil Arjuna. Dan dalam cerpen itu kata tersebut hanya disebutkan sekali pada awal-awal cerita. Setelah membaca keseluruhan isi ceritanya saya jadi menerka-nerka maksud yang terkandung dalam judul yang terlihat sederhana itu. Cerpen itu mengisahkan sebagian kecil gambar kehidupan seorang pejabat senior bank, Drs Herdjuna. Dari kehidupannya yang setiap hari bergelut dengan uang rakyat, bahkan dampaknya pada uang negara tentu sensitif sekali menjadi sorotan dan intipan masyarakat sebagai bentuk kewaspadaan sebagai nasabah. Bahkan sempat mendapatkan tuduhan melakukan kolusi dengan partner kerjanya sendiri. Dari sini saya mencoba meraba-raba bahwa lakon Parta Krama yang menjadi pemenang pertama dalam Festival Wayang Orang Amatir seluruh Indonesia itu adalah terinspirasi dari kisah kehidupan Drs Herdjuna sendiri. Dari kisah kehidupannya yang berjuang mendapatkan hati seorang perempuan yang akhirnya menjadi istrinya dengan usaha dan pengorbanan hingga menyeretnya pada tuduhan kolusi di tempat kerjanya sendiri. Begitu pun dengan kisah Arjuna yang harus berkorban menghadap dewa-dewa mencari kereta kencana yang ditarik kerbau Danu piaraan para dewa, dan iringan gamelan Lokananta dari surga. Penganalogian yang menarik sehingga menelorkan sebuah imajinasi yang eksotik pula. Dari hasil penganalogian dua peristiwa ini saya berpikir bahwa judul cerpen Parta Krama ini sengaja diambil mengingat kisah Arjuna itu sebagai gambaran masa lalu Drs Herdjuna walau pada kenyataan isi cerpen Arjuna justru sebagai pantulan kehidupan nyata Drs Herdjuna. Dari penggambaran masa lalu inilah Drs Herdjuna mengambil lakon Parta Krama yang kita tahu itu adalah nama kecil Arjuna.
Dari dalam kisah yang diangkat sebuah kisah, kita kembali pada kehidupan yang benar-benar nyata, kehidupan tiga dimensi di mana pak Umar Kayam sekarang berada sebagai pengarang karya unik ini. Rumit memang, masih banyak simbol-simbol, makna-makna, dan amanah-amanah yang terkandung dan terselip dalam cerpen Parta Krama ini. Namun masing-masing pembaca memiliki teori sendiri, teorinya bisa merupakan gabungan dari berbagai teori. Dan bila teori pembaca itu tidak kuat maka akan berpengaruh pula pada interpretasinya terhadap karya sastra itu.