Dalam dongeng, yang nyata dan yang khayal dapat berlalu lintas begitu saja. Begitu juga dalam pertunjukan wayang, dalam kehidupan orang Bali, bahkan dalam kehidupan modern di negeri ini. Melalui cerita, Putu menggali hal lain, sesuatu yang kerap terasa mustahil, untuk menggoyangkan sejumlah “kebenaran” yang terlanjur mapan. Jadinya karya Putu yang mengguncang-guncang berbagai kebiasaan, baik kebiasaan hidup maupun estetika. Karya-karya Putu hadir untuk menimbang ulang, mempermainkan, mempertanyakan, bahkan menggugat wacana, konvensi, adat nilai, moral dan segala sesuatu yang sudah teramat biasa di sekitar kita. Bila malam bertambah malam (1971) misalnya, amat jelas menguji sekaligus mempertanyakan, nilai-nilai kasta dalam kehidupan orang Bali. Lewat cerita Putu tiba-tiba kita tercengang dan kemudian tahu bahwa disekitar kehidupan kita banyak nilai-nilai yang sebenarnya keropos dan karena itu bersifat ilusi.
Tentu tidak seluruh karya Putu Wijaya menampilkan tokoh dan sejumlah peristiwa aneh, lucu, ajaib, hayal atau absurd, dan tak masuk akal. Pada cerita-cerita yang ditulis secara realis, cerita dan struktur cerita, sosok tokoh, peristiwa dan jalinan peristiwa hadir mengalir seperti umumnya cerita. Seperti tampak pada “Dam”, tokoh penjahat yang membunuh orang bersedan dihadirkan sebagai jendela untuk membongkar realitas mapan yang sesungguhnya keropos. Dalam pengadilan, segalanya terbongkar. Mengapa penjahat membunuh orang bersedan tidak lain karena merasa tidak adil atas kehidupan. Dengan “dekonstruksi” khas Putu, logika dibolak-balik sehingga penjahat dengan leluasa menyalahkan orang bersedan itu. Kisah “Dam” ini seolah menempatkan Putu Wijaya, sebagai sarjana hukum, yang membela orang-orang kecil sekaligus mempertanyakan keadaan.
Berbeda dengan karya-karya realis, karya-karya non-realis Putu, baik novel, cerpen, maupun dramanya, kental dengan peristiwa-peristiwa aneh, perilaku tokoh yang tak masuk akal, menjungkirbalikkan kebiasaan-kebiasaan lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana Telegram (1990) juga tampil sebagai kisah yang menghadirkan bersilangsengkarutnya peristiwa nyata dan khayal, lucu dan mengerikan, faktual dan metaforis, logis dan tak masuk akal. Bagaimana mungkin dalam Stasiun tokoh yang copot kepalanya karena diterkam orang gila bisa dipasangkan kembali, seperti memasang topi di kepala, oleh seorang kuli yang menemukan orang itu di tong sampah. Dalam salah satu cerpennya malah ada tokoh yang naik pesawat ke Jakarta, kepalanya tertinggal di Singapura.
Begitu pula dalam novel Lho, tokoh utama berkali-kali melakukan pembunuhan yang tidak ingin diinginkannya. Hasrat membunuh dalam Lho agak mirip dengan hasrat membunuh dalam “Dam”, meski dalam “Dam” menjadi jelas sebab-musabab sosialnya. Putu Wijaya menggambarkan wajah masyarakat Indonesia yang masih bermasalah karena adanya ketimpangan sosial. Drama itu menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia yang berada dalam kondisi ekonomi yang rendah menjadi inti permasalahan ini. Kecemburuan sosial menjadi dominasi konflik dalam drama ini. Gaya penuturan tokoh-tokoh dalam drama “Dam” ini menggunakan bahasa realitas, lancar, ringan, dan mudah dimengerti sehingga drama ini bisa dikatagorikan sebagai drama realis.
Waah keren ceritanya mbak ..
BalasHapusWew, makasih makasih.
HapusKirim ke koran, Tan. Keren review-nya. Berapa kata nih?
BalasHapusIya kah mbak? Aku kok blm PD ya.
HapusGo to media, Mbak. Reviewnya mantap loh.
BalasHapusGo to media, Mbak. Reviewnya mantap loh.
BalasHapusAh masa sih.
HapusHaha mba intan, jangan gak pede gitu ah.. bisa kok tinggal dipoles dikit kirim ke media...
BalasHapusButuh dempul brapa kilo yak kira2? Hahaha...
HapusAsyik nih pembahasannya
BalasHapusFiuh... yang bener ih
HapusParagrafmu kepanjangan dan numpuk Mbak, aku enggak begitu sabar membacanya.
BalasHapusBahasanmu melompat2 membandingkan karya-karyanya Putu, walaupun aku enggak kenal Putu, menurutku sebenarnya lebih baik membandingkan karyanya dengan karya sastrawan lain.
Dengan begitu pembaca karya sastra penulis lain bisa tertarik untuk membaca karya Putu.
Misalkan saya adalah fans beratnya Sapardi, kemudian membaca tulisan yg membandingkan antara DAM karya Putu dengan karya Sapardi, pasti aku bakalan tergerak membaca karyanya Putu.
Anyway aku enggak begitu paham.. Don't mind. XD LOL
You know, ini tugas kuliah dulu. Wkwkwkwkwkw.... tapi thanks a lot ya. Aku suka kejujuranmu.
Hapussejak masa oprec kapan hari, aku udah tahu kalo.mbak intan suka di naskah drama heheh tul ga
BalasHapusMasa sih mbak? Tahu dari mana? Sumpah ih aku penasaran.
HapusDan aku gak terlalu paham Tan,hehe
BalasHapusApalagi aku. Wkwkwkwkwkwkwkw....
Hapusbelum pernah baca karya Putu Wijaya nih
BalasHapusCoba baca satu deh. Hehehe...
HapusAku juga belum pernah baca karya Putu Wijaya, tapi kalau dilihat dari analisanya sih kayaknya karyanya berat
BalasHapusIya, memang berat, kamu gak akan kuat. Biar aku saja.
Hapusuntuk karya putu wijaya aku biasanya perlu baca berulang kali.. keren cerpen beliau..
BalasHapuskeren mbak... kalo sastra yang kelas berat gini suka mumet bacanya hehehe... karena bagiku baca novel untuk hiburan males mikir...
BalasHapus